KANTONG SEMAR (Nepenthes sp.)
Kantong semar atau dalam nama latinnya Nepenthes sp. pertama kali dikenalkan
oleh J.P Breyne pada tahun 1689. Di Indonesia, sebutan untuk tumbuhan
ini berbeda antara daerah satu dengan yang lain. Masyarakat di Riau mengenal
tanaman ini dengan sebutan periuk monyet, di Jambi disebut dengan kantong
beruk, di Bangka disebut dengan ketakung, sedangkan nama sorok raja
mantri disematkan oleh masyarakat di Jawa Barat pada tanaman unik ini. Sementara
di Kalimantan setiap suku memiliki istilah sendiri untuk menyebut Nepenthes
sp. Suku Dayak Katingan menyebutnya sebagai ketupat napu, suku Dayak
Bakumpai dengan telep ujung, sedangkan suku Dayak Tunjung menyebutnya
dengan selo bengongong yang artinya sarang serangga (Mansur, 2006).
Sampai dengan saat ini tercatat terdapat 103 jenis kantong semar yang sudah
dipublikasikan (Firstantinovi dan Karjono, 2006). Tumbuhan ini diklasifikasikan sebagai
tumbuhan karnivora karena memangsa serangga. Kemampuannya itu disebabkan
oleh adanya organ berbentuk kantong yang menjulur dari ujung daunnya.
Organ itu disebut pitcher atau kantong. Kemampuannya yang unik dan asalnya
yang dari negara tropis itu menjadikan kantong semar sebagai tanaman hias pilihan
yang eksotis di Jepang, Eropa, Amerika dan Australia. Sayangnya, di negaranya
sendiri justru tak banyak yang mengenal dan memanfaatkannya (Witarto,
2006).
Selain kemampuannya dalam menjebak serangga, keunikan lain dari tanaman
ini adalah bentuk, ukuran, dan corak warna kantongnya. Secara keseluruhan,
tumbuhan ini memiliki lima bentuk kantong, yaitu bentuk tempayan, bulat telur/
oval, silinder, corong, dan pinggang.
A. Penyebaran
Kantong semar tumbuh dan tersebar mulai dari Australia bagian utara, Asia
Tenggara, hingga Cina bagian Selatan. Indonesia sendiri memiliki Pulau
Kalimantan dan Sumatera sebagai surga habitat tanaman ini. Dari 64 jenis yang
hidup di Indonesia, 32 jenis diketahui terdapat di Borneo (Kalimantan, Serawak,
Sabah, dan Brunei) sebagai pusat penyebaran kantong semar. Pulau Sumatera
menempati urutan kedua dengan 29 jenis yang sudah berhasil diidentifikasi.
Keragaman jenis kantong semar di pulau lainnya belum diketahui secara pasti.
Namun berdasarkan hasil penelusuran spesimen herbarium di Herbarium
Bogoriense, Bogor, ditemukan bahwa di Sulawesi minimum sepuluh jenis, Papua
sembilan jenis, Maluku empat jenis, dan Jawa dua jenis (Mansur, 2006).
B. Habitat
Kantong semar hidup di tempat-tempat terbuka atau agak terlindung di habitat
yang miskin unsur hara dan memiliki kelembaban udara yang cukup tinggi.
Tanaman ini bisa hidup di hutan hujan tropik dataran rendah, hutan pegunungan,
hutan gambut, hutan kerangas, gunung kapur, dan padang savana. Berdasarkan ketinggian tempat tumbuhnya, kantong semar dibagi menjadi tiga kelompok yaitu
kantong semar dataran rendah, menengah, dan dataran tinggi.
Karakter dan sifat kantong semar berbeda pada tiap habitat. Beberapa jenis
kantong semar yang hidup di habitat hutan hujan tropik dataran rendah dan hutan
pegunungan bersifat epifit, yaitu menempel pada batang atau cabang pohon lain.
Pada habitat yang cukup ekstrim seperti di hutan kerangas yang suhunya bisa
mencapai 30º C pada siang hari, kantong semar beradaptasi dengan daun yang
tebal untuk menekan penguapan air dari daun. Sementara kantong semar di
daerah savana umumnya hidup terestrial, tumbuh tegak dan memiliki panjang
batang kurang dari 2 m.
C. Status Perlindungan
Status tanaman kantong semar termasuk tanaman yang dilindungi berdasarkan
Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati
dan Ekosistemnya serta Peraturan Pemerintah No. 7/1999 tentang Pengawetan
Jenis Tumbuhan dan Satwa. Hal ini sejalan dengan regulasi Convention on
International Trade in Endangered Species (CITES), dari 103 spesies kantong
semar di dunia yang sudah dipublikasikan, 2 jenis: N. rajah dan N. khasiana masuk
dalam kategori Appendix-1. Sisanya berada dalam kategori Appendix-2. Itu berarti
segala bentuk kegiatan perdagangan sangat dibatasi.
D. Potensi
Kantong semar memang belum sepopuler tanaman hias lainnya seperti
anggrek, dan aglaonema. Namun, saat ini kepopuleran kantong semar sebagai
tanaman hias yang unik semakin meningkat seiring dengan minat masyarakat
pecinta tanaman hias untuk menangkarkannya. Nama tanaman dari famili
Nepenthaceae ini sudah terkenal hingga ke mancanegara. Bahkan di negaranegara
seperti Australia, Eropa, Amerika, Jepang, Malaysia, Thailand, dan Sri
Lanka budidaya tanaman ini sudah berkembang menjadi skala industri. Ironisnya,
tanamanan pemakan serangga ini kebanyakan jenisnya berasal dari Indonesia.
Selain berpotensi sebagai tanaman hias, kantong semar juga dapat digunakan
sebagai obat tradisional (Mansur, 2006). Sementara itu, kandungan protein di
dalam kantongnya berpotensi untuk pengembangan bertani protein menggunakan
tanaman endemik Indonesia (Witarto, 2006). Dalam penelitiannya baru-baru ini,
Witarto (2006), berhasil mengisolasi protein dalam cairan kantong atas dan
kantong bawah dari N. gymnamphora dari Taman Nasional Gunung Halimun. Dari
masing-masing 800 ml cairan yang dikumpulkan dari kantong, dapat dimurnikan
protein sebanyak 1 ml. Uji aktivitas terhadap protein yang telah dimurnikan
menunjukkan bahwa protein itu adalah enzim protease yang kemungkinan besar
adalah Nepenthesin I dan Nepenthesin II.
III. Nepenthes sp. DI SUMATERA
Sumatera merupakan urutan kedua setelah Kalimantan sebagai tempat
penyebaran spesies, tapi dari segi jumlah populasi Sumatera dapat mengimbangi
Kalimantan. Dari jenis-jenis yang sudah ditemukan di Sumatera, 12 di antaranya
masih dalam proses identifikasi (Anonimus, 2006). Semua jenis Nepenthes sp.
yang ada di Sumatera tersebar dari dataran rendah sampai ke dataran tinggi.
Kantong semar (Nepenthes sp.) di Sumatera memiliki beberapa sebutan seperti
periuk monyet di Riau, kantong beruk di Jambi, dan Ketakung atau calong beruk digunung untuk jenis Nepenthes aristolochioides. Pada awalnya, Nepenthes sp. di
Sumatera sangat mudah ditemukan di hampir seluruh tipe hutan dan tersebar
hampir merata di setiap provinsi, kecuali untuk jenis endemik tertentu. Akan tetapi,
sekarang sudah mulai sulit dijumpai, kecuali di daerah tertentu.
Gambar 1. Nepenthes gracilis, salah satu jenis nepenthes yang ditemukan di Hutan
Pedamaran Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan
(Sumber foto : Adi)
Berikut ini adalah jenis-jenis Nepenthes sp. di Sumatera yang telah
teridentifikasi (Mansur, 2006), baik spesies alami maupun jenis silang alaminya :
1. Nepenthes adnata Tamin dan M. Hotta ex Schlauer
Silang alami : Belum diketahui
Habitat : Hutan dataran rendah (600-1.100 m dpl)
Status : Kritis
Saat ini penyebaranya baru diketahui hanya di Sumatera Barat. Hidup di tempat-tempat terlindung dengan
kelembaban cukup tinggi pada substrat lumut dan berbatu pasir. Jenis ini memiliki kemiripan dengan N. tentaculata.
2. Nepenthes albomarginata T.Lobb ex Lindl
Varietas : villosa, typica, tomentolla dan cubra
Silang alami : dengan N. ampullaria, N. clipeata, N. hirsuta, N. northiana, N. reinwardtiana, N. vietchii, N.
custadhya
Habitat : Hutan kerangas dataran rendah, puncak bukit dengan ve-getasi terbuka di tanah kapur atau
tanah berpasir. Ter-sebar pada ketinggian 0-1.100 m dpl.
Status : Terkikis
3. Nepenthes ampullaria Jack
Varietas : geelvinkeana, microsepala dan racemosa
Silang alami : dengan N. albomarginata, N. bicalcarata, N. gracilis, N. rafflesiana, N. hirsuta, N. mirabilis, N.
reinwardtiana dan N. tobaica.
Habitat : Hutan kerangas, hutan rawa gambut, hutan rawa, pinggir sungai, sawah, dan semak belukar.
Umumnya hidup di tempat-tempat terbuka, lapangan luas, tanah-tanah basah. Jenis ini tersebar
pada ketinggian 0-1.100 m dpl.
Status : Terkikis
4. Nepenthes angasanensis Maulder, D. Schula, B. Salman dan B. Quinn
Silang alami : dengan N. densiflora
Habitat : Terestrial atau efifit di hutan lumut (2.200-2.800 m dpl)
Status : Rawan
5. Nepenthes aristolochioides Jebb dan Cheak
Silang alami : dengan N. singalana
Habitat : Terestrial atau efifit di hutan lumut pada punggung-pung-gung bukit yang terjal pada ketinggian
2.000-2.500 m dpl.
Status : Kritis
Jenis ini merupakan jenis endemik di Jambi
6. Nepenthes bongso Korth
Silang alami : dengan N. singalana dan N. talangensis
Habitat : Hutan dataran rendah dan dataran tinggi (1.000-2.700 m dpl)
Status : Terkikis
Jenis ini ditemukan di Jambi, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Umum-nya hidup sebagai efifit di hutan
pegunungan dataran rendah yang berlumut. Kata bongso diambil dari nama kawah bongso Gunung Merapi (tempat
pertama kali jenis ini dikoleksi oleh Korthals).
7. Nepenthes diata Jebb dan Cheek
Silang alami : dengan N. mikei
Habitat : Hutan lumut dan hutan pegunungan dataran tinggi pada ketinggian 2.400-2.900 m dpl.
Status : Genting
Jenis dataran tinggi ini ditemukan di Gunung Bandahara, Aceh. Memiliki hubungan dekat dengan N. singalana.
8. Nepenthes dubia Danser
Silang alami : dengan N. singalana
Habitat : Hutan pegunungan dataran rendah dan dataran tinggi (1.000-2.700 m dpl)
Status : Kritis
Jenis ini banyak ditemukan di Sumatera Barat, memiliki bentuk kantong yang unik (seperti kloset duduk). N. dubia
memiliki hubungan dekat dengan N. inermis yang memiliki bentuk kantong hampir serupa. Umumnya hidup sebagai
efifit pada tajuk-tajuk pohon di hutan lumut atau terestrial di semak-semak tempat terbuka.
9. Nepenthes custachya Miq
Silang alami : dengan N. albomarginata, N. longifolia, dan N. sumatrana
Habitat : Bukit-bukit yang terjal dan terbuka pada substrat tanah berbatu pasir pada ketinggian (0-1.600
m dpl)
Status : Terkikis
Jenis yang tergolong endemik Sumatera ini memiliki bentuk kantong atas dan bawah hampir sama dan tidak memiliki
sayap. Jenis ini mirip dengan N. alata dari Filipina.
10. Nepenthes gracilis Korth
Silang alami : dengan N. ampullaria, N. mirabilis, N. rafflesiana, dan N. reinwardthiana
Habitat : Hutan dataran rendah, hutan rawa gambut, hutan kera-ngas, vegetasi pinggir sungai pada
ketinggian 0-1.100 m dpl)
Status : Terkikis
Jenis ini memiliki kemampuan beradaptasi dengan lingkungan yang lebih tinggi dibanding jenis lainnya. Mampu hidup
di berbagai habitat dan jenis tanah. Oleh karena itu, jenis ini memiliki daerah penyebaran yang cukup luas.
11. Nepenthes inermis Danser
Silang alami : dengan N. spathulata, N. talangensis
Habitat : Efifit di hutan lumut, terestrial di hutan pegunungan da-taran tinggi (1.500-2.600 m dpl)
Status : Terkikis
Jenis ini termasuk jenis endemik Sumatera. Memiliki bantuk kantong yang mirip dengan N. dubia. Kantong roset dan
kantong bawah jarang ada.
12. Nepenthes jacqvelineae C. Clorke, T. Davis dan Tamin
Silang alami : Belum diketahui
Habitat : Efifit atau terestrial di hutan lumut (1.700-2.200 m dpl)
Status : Belum diketahui
Jenis ini baru ditemukan pada tahun 2000 oleh T. Davis. Merupakan jenis endemik Sumatera dan baru diketahui
penyebarannya di Sumatera Barat dan memiliki hubungan dekat dengan N. inermis.
13. Nepenthes mirabilis (Lour) Druce
Silang alami : dengan N. ampullaria, N. bicalcarata, N. gracilis, N. fafflesiana, dan N. spathulata
Habitat : Hidup di tempat-tempat terbuka pada tebing-tebing di pinggir jalan, pinggir sungai, pinggir hutan
sekunder, pinggir danau. Pada umumnya tumbuh di tanah podsolik merah. Penyebarannya
pada ketinggian 0-1.500 m dpl, tetapi umumnya pada ketinggian di bawah 500 m dpl.
Status : Terkikis
Jenis ini memiliki daya adaptasi lebih tinggi daripada N. gracilis dan jenis lainnya. Oleh karena itu, jenis ini dapat
hidup di berbagai habitat pada tempat-tempat yang basah maupun kering. Jenis ini menyebar luas di Asia Tenggara.
14. Nepenthes pectinata Danser
Silang alami : Belum diketahui
Habitat : Hutan dataran tinggi, hutan lumut (950-2.750 m dpl)
Status : Terkikis
15. Nepenthes rafflesiana Jack
Varietas : alata, ambigua, elongate, glaberrina, insignis, minor, nigcopurpurea, nivea, dan typical
Silang alami : dengan N. ampullaria, N. bicalcurata, N. gracilis, N. mirabilis
Habitat : Tumbuh di tempat-tempat terbuka atau pun ternaungi yang basah atau kering seperti hutan
rawa gambut dan hutan kerangas (0-1.200 m dpl)
Status : Terkikis
Di antara marga Nepenthes, jenis ini memiliki ukuran kantong cukup besar, kantong bawah dapat menampung air
hingga satu liter.
16. Nepenthes reinwardtiana Miq
Varietas : samarindensis
Silang alami : dengan N. albomarginata, N. ampullaria, N. gracilis, N. spathulata, N. tobaica, N. sterophylla, N.
hispida, N. makrovulgaris.
Habitat : Hutan rawa gambut, hutan kerangas, hutan dataran rendah, hutan lumut, (0-2.100 m dpl)
Status : Terkikis
Dua spot mata di dalam dinding kantong di bawah permukaan mulut kantong merupakan ciri utama dari jenis ini.
Namun tidak semua kantong memiliki dua spot mata.
17. Nepenthes spathulata Danser
Silang alami : dengan N. inermis, N. mirabilis, N. reinwardtiana, N. tobaica
Habitat : Hidup efifit atau terestrial di hutan lumut dan hutan pegunungan dataran tinggi (1.100-2.900 m
dpl)
Status Kritis
Jenis ini mirip dengan N. singalana. Penyebarannya cukup luas di hutan pegunungan dataran rendah di Sumatera
Selatan, Bengkulu, dan Jambi.
18. Nepenthes sumatrana (Miq) Beck
Silang alami : dengan N. custochya
Habitat : Dataran rendah pada tanah berbatu pasir (0-800 m dpl)
Status : Kritis
Jenis ini ditemukan di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Jambi. Hidup terestrial di tempat yang ternaungi pada
hutan dataran rendah dengan substrat tanah berbatu pasir. Sering dijumpai sampai di tajuk pohon.
19. Nepenthes tobaica Denser
Silang alami : dengan N. ampullaria, N. reinwardtiana, N. spathulata
Habitat : Hutan pegunungan (380-2.750 m dpl)
Status : Terkikis
Kata tobaica diambil dari nama danau Toba di Sumatera Utara yang merupakan tempat pertama kali ditemukan.
20. Nepenthes xhooveriana
Jenis ini merupakan silangan alami dari N. ampullaria dan N. rafflesiana. Kantong bawahnya mirip dengan N.
ampullaria tetapi penutup kantong bawanhnya mirip dengan N. rafflesiana.
21. Nepenthes xtrichocarpa
Jenis ini merupakan hasil silangan antara N. ampullaria dengan N. gracilis. Bentuk dan ukuran kantong mirip dengan
N. gracilis tetapi bentuk mulut dan bibir mirip N. ampullaria.
22. Nepenthes xneglecta
Jenis ini merupakan silangan alami dari N. gracilis dengan N. mirabilis. Umumnya bentuk kantong mirip dengan N.
gracilis tetapi ukurannya lebih besar. Ukuran daun lebih panjang daripada N. gracilis, pinggiran daun tidak
berbulu/bergigi. Bentuk batang silindris tidak seperti N. gracilis yang memiliki bentuk batang segitiga.
Sebenarnya masih banyak lagi jenis silangan alami lainnya. Sekitar 71 jenis
silangan alami yang telah ditemukan di Sumatera, Semenanjung Malaysia, dan
Borneo (Mansur, 2006), tapi hanya tiga jenis saja yang populer di Sumatera (N.
xhooveriana, N. xtrichocarpa, dan N. xneglecta).
IV. ANCAMAN
Berdasarkan pengamatan di lapangan dan kajian literatur, potensi ancaman
terhadap kelangsungan hidup Nepenthes sp. di Sumatera lebih banyak berasal
dari gangguan manusia. Aktivitas masyarakat di sekitar habitat alami yang dapat
mengganggu keberadaan Nepenthes sp. antara lain berupa kegiatan mencari kayu
meskipun secara tidak langsung dapat mengganggu Nepenthes sp. karena dapat
tertimpa pohon yang ditebang atau tercabut secara tidak sengaja, serta kemungkinan tanaman mati karena ingan tempat tanaman ini terpotong/ditebang
(Kunarso dan Fatahul A., 2006).
Selain aktivitas tersebut, pola pembukaan ladang dengan sistem sonor
(dibakar) yang umum dilakukan di Sumatera juga dapat mengganggu kehidupan
Nepenthes sp. di habitat alaminya. Pembukaan lahan atau konversi hutan dalam
skala kecil maupun besar dengan cara tradisional maupun modern yang dilakukan
oleh masyarakat maupun perusahaan juga mengancam keberadaan jenis ini dan
jenis flora lainnya.
Ancaman terbaru yang masuk belakangan ini adalah pengeksploitasian
terhadap Nepenthes sp. oleh masyarakat untuk kepentingan bisnis. Eksploitasi
yang tidak memperhatikan kaidah ekologi-konservasi tentu akan mempercepat
kepunahan Nepenthes sp. di habitat alaminya. Banyak pedagang di Sumatera
yang menjual jenis ini yang bukan dari hasil tangkaran atau budidaya tetapi dari
hasil cabutan alam. Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan pedagang, pada
umumnya para pedagang ini tidak mengetahui status Nepenthes sp. yang mereka
jual. Mereka hanya mengambil langsung dari alam dan menjualnya dengan harga
murah sekitar Rp 25.000,- sampai Rp 100.000,- /tanaman, bahkan ada yang
menjual Rp 10.000,-/tanaman yang diambil dari habitat alaminya (sistem pesan
banyak tanpa pot). Hal ini sangatlah memprihatinkan mengingat populasi
Nepenthes sp. di alam yang sudah semakin sedikit.
Sementara itu bahaya kebakaran hutan dan lahan yang terjadi hampir setiap
tahun juga menjadi ancaman besar bagi kelangsungan hidup dari Nepenthes sp.,
khususnya jenis yang ada di hutan rawa gambut karena tipe hutan seperti ini
sangat rawan terhadap kebakaran. Kebakaran pada lahan rawa gambut tergolong
dalam tipe kebakaran bawah (ground fire). Nugroho et al. (2005) menyatakan
bahwa pada kebakaran dengan tipe ground fire, api menyebar tidak menentu
secara perlahan di bawah permukaan karena tidak dipengaruhi oleh angin. Tipe
kebakaran seperti ini mengancam akar-akar vegetasi yang ada di atasnya dan
dapat menyebabkan kematian vegetasi tersebut.
V. UPAYA KONSERVASI
Populasi kantong semar di alam diprediksikan akan terus mengalami penurunan
dari tahun ke tahun. Kondisi ini disebabkan oleh beberapa hal di antaranya :
kebakaran hutan, penebangan kayu secara eksploitatif, pengembangan
pemukiman, pertanian, dan perkebunan serta eksploitasi yang berlebihan untuk
tujuan komersil (Mansur, 2006). Hutan rawa gambut di Sumatera dan Kalimantan
sebagai salah satu habitat alami kantong semar, hampir setiap tahun mengalami
kebakaran. Konversi lahan hutan untuk pengembangan pemukiman, pertanian,
dan perkebunan menjadi suatu hal yang harus dilakukan seiring dengan semakin
bertambahnya populasi penduduk. Hal ini pulalah yang ditengarai sebagai
penyebab makin berkurangnya habitat kantong semar di alam.
Apabila hal ini terus menerus dibiarkan tanpa adanya upaya penyelamatan
ancaman kepunahan kantong semar di alam tinggal menunggu waktunya. Untuk
itu diperlukan usaha konservasi, baik in-situ maupun ex-situ dengan cara budidaya
dan pemuliaan.
Konservasi in-situ merupakan upaya pengawetan jenis tumbuhan dan satwa
liar di dalam kawasan suaka alam yang dilakukan dengan jalan membiarkan agar
populasinya tetap seimbang menurut proses alami di habitatnya. Upaya konservasi
in-situ ini dikatakan paling efektif, karena perlindungan dilakukan di dalam habitat aslinya, sehingga tidak diperlukan lagi proses adaptasi bagi kehidupan dari jenis
tumbuhan dan satwa liar tersebut ke tempat yang baru (Nurhadi, 2001 dalam
Sudarmadji, 2002). Namun demikian, suatu kelemahan akan terjadi jika suatu jenis
yang dikonservasi secara in-situ tersebut memiliki penyebaran yang sempit;
kemudian tanpa diketahui terjadi perubahan habitat, maka akan sangat
berpengaruh terhadap kelangsungan hidup jenis tersebut; begitu pula jika di
daerah tersebut terjadi bencana atau kebakaran, dapat dipastikan seluruh jenis
yang terdapat di dalamnya akan terancam musnah dan tidak ada yang dapat
dicadangkan lagi. Oleh karena itu, selain upaya konservasi in-situ perlu dilengkapi
dengan upaya konservasi ex-situ (Nurhadi, 2001 dalam Sudarmadji, 2002).
Upaya konservasi ex-situ merupakan upaya pengawetan jenis di luar kawasan
yang dlakukan dengan menjaga dan mengembangbiakkan jenis tumbuhan dan
satwa liar. Kegiatan konservasi ex-situ ini dilakukan untuk menghindari adanya
kepunahan suatu jenis. Hal ini perlu dilakukan mengingat terjadinya berbagai tekanan
terhadap populasi maupun habitatnya (Nurhadi, 2001 dalam Sudarmadji,
2002).
Hal lain yang tidak kalah penting ialah penyebarluasan informasi mengenai
Nepenthes sp. itu sendiri kepada masyarakat umum agar mereka mengetahui
keberadaan populasi, status jenis, dan status hukum yang melindungi tanaman
dari kepunahan. Upaya ini harus disertai dengan disiplin tinggi dari penerapan
hukum bagi ancaman-ancaman yang ada terhadap kelangsungan hidup
Nepenthes sp.